√ Tanpa Latar Belakang Pondok Bukan Alasan Tidak Bisa Menghafal - Ilhamsadli.com

Tanpa Latar Belakang Pondok Bukan Alasan Tidak Bisa Menghafal

Ilhamsadli.com,- Namanya Afif Zain Abdillah, seorang hafidz muda Ibnu Katsir tanpa latar belakang pendidikan pondok pesantren sebelumnya. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan bapak Muh. Syakri ZA dan ibu Alfiyah. Sang bapak berprofesi sebagai seorang tenaga pengajar sedangkan sang ibu sebagai ibu rumah tangga. 
Tanpa Latar Belakang Pondok Bukan Alasan Tidak Bisa Menghafal
Semuanya berawal dari ketertarikan Afif dengan dunia pendidikan. Ketika itu masih berumur sangat muda yakni 5 tahun. Di umur semuda itu sudah berada di bangku Sekolah Dasar, tepatnya di SDN 3 Kalisat yang lokasinya tidak jauh dari kediamannya. Maksud awalnya hanya dititipkan saja, tetapi kemudian perkembangannya sudah seperti anak normal maka dilanjutkanlah pendidikan tersebut. Mungkin karena waktu itu masih belum berlaku aturan 7 tahun baru bisa masuk Sekolah Dasar.

Jatuh Cinta Pada Qur’an Karena Ibnu Katsir

Setelah lulus sekolah dasar, Afif rencana akan di daftarkan di SMP Negeri 1. Apabila tidak lolos seleksi maka akan didaftarkan ke pondok pesantren. Dan MasyaAllah ternyata tidak lolos seleksi sehingga dilema akan dimasukan ke pondok atau tidak karena umurnya yang masih muda. Alasan ini kembali menjadi penghalang Afif untuk merasakan lingkungan pondok, maka di daftarkanlah ke SMPN 2. Disinilah kisah cintanya pada Al-Qur’an bermula. 

Waktu acara perpisahan sekolah bertemu denga Ustadz Abu (Ibnu Katsir). Dari pertemuan dengan ustadz Abu yang sebentar inilah kemudian muncul benih-benih kecintaan pada Ibnu Katsir dan Al-Qur’an. Tibalah pada waktu kelulusan, waktu yang ditunggu – tunggu untuk Afif mendaftar ke Ibnu Katsir. Tetapi ternyata Allah berkehandak lain, Afif diminta bersabar selama 3 tahun untuk merasakan lingkungan pondok. Karena ketika hendak mendaftar ke Ibnu Katsir, sang bapak dalam keadaan kurang sehat dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di SMK Muhammadiyah. Prinsipnya saat itu adalah “penting sekolah saja dulu”, karena belum ada yang menemaninya untuk mendaftar di Ibnu Katsir.

Namun siapa sangka, ternyata dari situlah rencana indah Allah untuk seorang Afif. Sejak kelas 1 SMK inilah hari-harinya banyak dihabiskan bersama Al-Qur’an, dengan tujuan utama bisa menghafal paling tidak 1 juz ketika sudah lulus nanti sebagai modal masuk Ibnu Katsir. Ketika teman – temannya disibukan dengan kegiatan sekolah, Afif asyik bercengkrama dengan Al-Qur’an. Memanfaatkan setiap waktunya untuk menghafal  Al-Qur’an walau dengan metodenya sendiri, tanpa melakukan setor hafalan. 

Metode yang digunakan adalah mencoba istiqamah menghafal 5 ayat setiap malamnya dan dimulai dari juz 30 dengan tenggang waktu kurang dari 3 bulan sudah berhasil hafal. Kemudian melanjutkan dengan juz 15, alasannya sederhana yakni mengambil posisi tengah-tengahnya. Karena juz 15 diakhiri dengan setengahnya Al-kahfi, maka kemudian hafalan dilanjutkan lagi hingga Al-kahfi tuntas bersama juz 16. Masing-masing juz 15 dan 16 dihafalkan sedikit lebih lama dari sebelumnya yakni sekitar 5 bulan. Sungguh inilah bentuk cintanya pada Al-Qur’an melalui Ibnu Katsir khususnya Ustadz Abu. 

Pasang Surut Cinta

Karena setiap lulusan SMK selalu disiapkan agar siap bekerja, maka mindset para siswanya juga terkontaminasi demikian. Lulus SMK lalu bekerja dan mindset ini juga menular pada Afif. Tetapi suatu ketika sang Bapak dengan bijaknya berkata “Nak, kamu masih muda, belum waktunya untuk bekerja. Sekarang waktumu untuk belajar.” Uangkapan inilah yang kemudain membuat Afif dilanda dilema. Kondisi dimana pasang surut cinta Afif pada Ibnu Katsir. 

Saking dilemanya hingga ketika mengikuti ujian masuk, harapannya adalah agar ia tidak diterima.  Karena kembali lagi, doktrin yang sudah tertanam dalam diri seorang siswa SMK yakni sudah siap untuk bekerja. Kecintaan untuk masuk Ibnu Katsir dan melanjutkan hafalannya mulai diuji, tetapi sisi lain dirinya mencoba menguatkkan tekadnya melalui arahan sang bapak. 

Hingga akhirnya tiba waktu pengumuman kelulusan santri Ibnu Katsir. Dari sekian nama yang tercantum, salah satu nama yang muncul adalah “Afif Zain Abdillah diterima dengan full beasiswa” kabar ini menambah kebahagiaan sang bapak tetapi rasa cinta Afif kepada Ibnu Katsir masih surut. Kemudian cintanya mulai pasang lagi ketika hadir dalam acara Majelis Duha dengan pemateri Ustadz Abu yang memberikan kesan pertama cintanya pada Ibnu Katsir.

20 hari pertama di Ibnu Katsir, Afif masih disibukkan bersama laptop tetapi target khatam 3 kali selama 20 hari tersebut tetap terlaksana dengan baik. Lalu, setelah 21 hari dan seterusnya sudah merasa nyaman karena mulai akrab dengan suasana. Cinta yang pudar perlahan menemukan muaranya, mungkin itulah istilah yang pas untuk momen yang dialami Afif ketika itu. Dari sinilah mulai kembali menghafal, hingga sekarang ini.

Bagaimana Barokah Al-Qur’an Dalam Kehidupan Afif?

Barokahnya Al-Qur’an sangat dirasakan oleh Afif dalam kesehariannya. Mulai dari kehidupan serta kebiasaannya yang perlahan berubah menjadi baik. Dahulu yang masih suka merajuk pada orang tua sekarang sudah tidak lagi, dahulu yang emosi kurang terkontrol sekarang bisa dikataka sangat stabil. Afif yang dulu seperti terlahir kembali layaknya manusia baru dengan segala kebaikan-kebaikan dari Al-Qur’an. 

Tidak hanya itu, Al-Qur’an juga memberikan banyak hal padanya. Misalnya saja ketika mengambil Ijazah di SMK, semunya berjalan mulus tanpa ada tanggungan. Bahkan diberikan sangu (bekal) sebagai hadiah untuknya yang sudah hadir dan diharapkan menjadi inspirasi adik kelasnya di SMK. Dengan harapan setiap siswa dan siswi bisa mengikuti jejaknya untuk senantiasa membersamai Al-Qur’an dalam setiap detik kehidupannya. 

Mereka yang mecintai Al-Qur’an akan di istimewakan di dunia dan di Akhirat. Rasulullah memberitahukan tentang ketinggian derajat Ahlul Qur`an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al Qur`an) ini dan menghinakan yang lain”.(HR Imam Muslim, no. 269 (1/559))

Kesimpulan dari kisah Afif Zain Abdillah ini adalah setiap orang bisa menjadi hafidz, tetapi seorang hafidz butuh wadah dan wadahnya adalah tempat yang lingkungannya bisa terus menumbuhkan cinta pada Al-Qur’an. 
Ilham Sadli Seorang Travel blogger sekaligus freelance Writer yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena Cabang Jember sejak 2014, suka menulis puisi dan kadang terlalu nyaman dengan menulis kisah seseorang.

10 Komentar untuk "Tanpa Latar Belakang Pondok Bukan Alasan Tidak Bisa Menghafal"

  1. Ini menginspirasi kita untuk semakin mencintai al-Qur'an dengan lebih sering membaca al-Qur'an ya, Mas, termasuk menghafalnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. beruntung saya bisa mewawancarai beliaunya bang...

      Hapus
  2. Terharu bacanya mas..keren banget seimbang antara hapalan dan akademisnya..

    BalasHapus
  3. Wah nyentil banget nih, hikss

    BalasHapus
  4. Bener banget hadit ini:

    “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al Qur`an) ini dan menghinakan yang lain”.(HR Imam Muslim, no. 269 (1/559))

    BalasHapus
  5. Memang sebaiknya menghafal al quran ini dari usia muda ya jadi lebih cepat menghafalnya.

    BalasHapus
  6. selalu merinding kalau baca cerita macam ini... makasih ya Ilham..

    BalasHapus
  7. MaayaAllah inspiratif sekali Afif. Barakallah menjadi keluarga Allah.

    BalasHapus
  8. Afifnya ini org mana, Ham? Ga diceritain gmn pertemuannya dgn Ilham :) MasyaAllah ya, barakallahu utk Afif. Langsung balik nanya diri sendiri utk bs membersamai Al Qur'an~

    BalasHapus
Silahkan tinggalkan komentar, jangan lupa follow twitter @blogsadli, Instagram @ilhamsadli atau subscribe email anda untuk mendapatkan update terbaru. Terimakasih sudah berkunjung

Rajabacklink